Dikutip dari Buku : Halal dan Haram Dalam Islam, Oleh : Syekh Muhammad Yusuf Qardhawy
Di antara yang harus ditundukkannya pandangan, ialah kepada aurat. Karena Rasulullah s.a.w. telah melarangnya sekalipun antara laki-laki dengan laki-laki atau antara perempuan dengan perempuan baik dengan syahwat ataupun tidak.
Sabda Rasulullah s.a.w.:
"Seseorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, dan begitu juga perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain, dan tidak boleh seorang laki-laki bercampur dengan laki-laki lain dalam satu pakaian, dan begitu juga perempuan dengan perempuan lain bercampur dalam satu pakaian."1 (Riwayat Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)
Aurat laki-laki yang tidak boleh dilihat oleh laki-laki
lain atau aurat perempuan yang tidak boleh dilihat oleh
perempuan lain, yaitu antara pusar dan lutut, sebagaimana
yang diterangkan dalam Hadis Nabi. Tetapi sementara ulama,
seperti Ibnu Hazm dan sebagian ulama Maliki berpendapat,
bahwa paha itu bukan aurat.
Sedang aurat perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki
lain ialah seluruh badannya kecuali muka dan dua tapak
tangan. Adapun yang dalam hubungannya dengan mahramnya
seperti ayah dan saudara, maka seperti apa yang akan
diterangkan dalam Hadis yang membicarakan masalah
menampakkan perhiasan.
Ada yang tidak boleh dilihat, tidak juga boleh disentuh,
baik dengan anggota-anggota badan yang lain.
Semua aurat yang haram dilihat seperti yang kami sebutkan
di atas, baik dilihat ataupun disentuh, adalah dengan syarat
dalam keadaan normal (tidak terpaksa dan tidak memerlukan).
Tetapi jika dalam keadaan terpaksa seperti untuk mengobati,
maka haram tersebut bisa hilang. Tetapi bolehnya melihat itu
dengan syarat tidak akan menimbulkan fitnah dan tidak ada
syahwat. Kalau ada fitnah atau syahwat, maka kebolehan
tersebut bisa hilang juga justru untuk menutup pintu
bahaya.
1. Batas dibolehkannya Melihat Aurat Laki-Laki atau Perempuan
Dan keterangan yang kami sebutkan di atas, jelas bahwa
perempuan melihat laki-laki tidak pada auratnya, yaitu di
bagian atas pusar dan di bawah lutut, hukumnya mubah, selama
tidak diikuti dengan syahwat atau tidak dikawatirkan akan
menimbulkan fitnah. Sebab Rasulullah sendiri pernah
memberikan izin kepada Aisyah untuk menyaksikan orang-orang
Habasyi yang sedang mengadakan permainan di masjid Madinah
sampai lama sekali sehingga dia bosan dan
pergi.2
Yang seperti ini ialah seorang laki-laki melihat
perempuan tidak kepada auratnya, yaitu di bagian muka dan
dua tapak tangan, hukumnya mubah selama tidak diikuti dengan
syahwat atau tidak dikawatirkan menimbulkan fitnah.
Aisyah meriwayatkan, bahwa saudaranya yaitu Asma' binti
Abubakar pernah masuk di rumah Nabi dengan berpakaian jarang
sehingga tampak kulitnya. Kemudian beliau berpaling dan
mengatakan:
"Hai Asma'! Sesungguhnya seorang perempuan apabila sudah datang waktu haidh, tidak patut diperlihatkan tubuhnya itu, melainkan ini dan ini -- sambil ia menunjuk muka dan dua tapak tangannya." (Riwayat Abu Daud)
Dalam hadis ini ada kelemahan, tetapi diperkuat dengan
hadis-hadis lain yang membolehkan melihat muka dan dua tapak
tangan ketika diyakinkan tidak akan membawa fitnah.
Ringkasnya, bahwa melihat biasa bukan kepada aurat baik
terhadap laki-laki atau perempuan, selama tidak berulang dan
menjurus yang pada umumnya untuk kemesraan dan tidak membawa
fitnah, hukumnya tetap halal.
Salah satu kelapangan Islam, yaitu: Dia membolehkan
melihat yang sifatnya mendadak pada bagian yang seharusnya
tidak boleh, seperti tersebut dalam riwayat di bawah
ini:
"Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah s.a. w. tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi: Palingkanlah pandanganmu itu!" (Riwayat Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tarmizi) -- yakni: Jangan kamu ulangi melihat untuk kedua kalinya.
2. Perhiasan Perempuan yang Boleh Tampak dan yang Tidak Boleh
Ini ada hubungannya dengan masalah menundukkan pandangan
yang oleh dua ayat di surah an-Nur 30-31, Allah perintahkan
kepada laki-laki dan perempuan.
Adapun yang khusus buat orang perempuan dalam ayat kedua
(ayat 31) yaitu:
a) Firman Allah:
"Janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak daripadanya."
Yang dimaksud perhiasan perempuan, yaitu apa saja yang
dipakai berhias dan untuk mempercantik tubuh, baik berbentuk
ciptaan asli seperti wajah, rambut dan potongan tubuh,
ataupun buatan seperti pakaian, perhiasan, make-up dan
sebagainya.
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada orang-orang
perempuan supaya menyembunyikan perhiasan tersebut dan
melarang untuk dinampak-nampakkan. Allah tidak memberikan
pengecualian, melainkan apa yang bisa tampak. Oleh karena
itu para ulama kemudian berbeda pendapat tentang arti apa
yang biasa tampak itu dan ukurannya. Apakah artinya: apa
yang tampak karena terpaksa tanpa disengaja, misalnya
terbuka karena ditiup angin; ataukah apa yang biasa tampak
dan memang dia itu asalnya tampak?
Kebanyakan ulama salaf berpendapat menurut arti kedua,
Misalnya Ibnu Abbas, ia berkata dalam menafsirkan apa yang
tampak itu ialah: celak dan cincin.
Yang berpendapat seperti ini ialah sahabat Anas. Sedang
bolehnya dilihat celak dan cincin, berarti boleh dilihatnya
kedua tempatnya, yaitu muka dan kedua tapak tangan.
Demikianlah apa yang ditegaskan oleh Said bin Jubair,
'Atha', Auza'i dan lain-lain.
Sedang Aisyah, Qatadah dan lain-lain menisbatkan dua
gelang termasuk perhiasan yang boleh dilihat. Dengan
demikian, maka sebagian lengan ada yang dikecualikan. Tetapi
tentang batasnya dari pergelangan sampai siku, masih
diperselisihkan.
Di samping satu kelonggaran ini, ada juga yang
mempersempit, misalnya: Abdullah bin Mas'ud dan Nakha'i.
Kedua beliau ini menafsirkan perhiasan yang boleh tampak,
yaitu selendang dan pakaian yang biasa tampak, yang tidak
mungkin disembunyikan.
Tetapi pendapat yang kami anggap lebih kuat (rajih),
yaitu dibatasinya pengertian apa yang tampak itu pada wajah
dan dua tapak tangan serta perhiasan yang biasa tampak
dengan tidak ada maksud kesombongan dan berlebih-lebihan,
seperti celak di mata dan cincin pada tangan. Begitulah
seperti apa yang ditegaskan oleh sekelompok sahabat dan
tabi'in.3
Ini tidak sama dengan make-up dan cat-cat yang biasa
dipakai oleh perempuan-perempuan zaman sekarang untuk
mengecat pipi dan bibir serta kuku. Make-up ini semua
termasuk berlebih-lebihan yang sangat tidak baik, yang tidak
boleh dipakai kecuali di dalam rumah. Sebab
perempuan-perempuan sekarang memakai itu semua di luar
rumah, adalah untuk menarik perhatian laki-laki. Jadi jelas
hukumnya adalah haram.
Sedang penafsiran apa yang tampak dengan pakaian dan
selendang yang biasa di luar, tidak dapat diterima. Sebab
itu termasuk hal yang lumrah (tabi'i) yang tidak bisa
dibayangkan untuk dilarangnya sehingga perlu dikecualikan.
Termasuk juga terbukanya perhiasan karena angin dan
sebagainya yang boleh dianggap darurat. Sebab dalam keadaan
darurat, bukan suatu yang dibuat-buat. Jadi baik
dikecualikan ataupun tidak, sama saja. Sedang yang cepat
diterima akal apa yang dimaksud istimewa (pengecualian)
adalah suatu rukhsah (keringanan) dan justru untuk
mengentengkan kepada perempuan dalam menampakkan sesuatu
yang mungkin disembunyikan; dan ma'qul sekali (bisa diterima
akal) kalau dia itu adalah muka dan dua tapak tangan.
Adanya kelonggaran pada muka dan dua taak tangan, adalah
justru menutupi kedua anggota badan tersebut termasuk suatu
hal yang cukup memberatkan perempuan, lebih-lebih kalau
mereka perlu bepergian atau keluar yang sangat menghajatkan,
misalnya dia orang yang tidak mampu. Dia perlu usaha untuk
mencari nafkah buat anak anaknya, atau dia harus membantu
suaminya. Mengharuskan perempuan supaya memakai cadar dan
menutup kedua tangannya adalah termasuk menyakitkan dan
menyusahkan perempuan.
Imam Qurthubi berkata: "Kalau menurut ghalibnya muka dan
dua tapak tangan itu dinampakkan, baik menurut adat ataupun
dalam ibadat, seperti waktu sembahyang dan haji, maka layak
kiranya kalau pengecualian itu kembalinya kepada kedua
anggota tersebut. Dalil yang kuat untuk pentafsiran ini
ialah hadis riwayat Abu Daud dari jalan Aisyah r.a., bahwa
Asma' binti Abubakar pernah masuk ke rumah Nabi s.a.w.
dengan berpakaian tipis, kemudian Nabi memalingkan mukanya
sambil ia berkata: "Hai Asma'! Sesungguhnya perempuan
apabila sudah datang waktu haidhnya (sudah baligh) tidak
patut dinampakkan badannya, kecuali ini dan ini -- sambil ia
menunjuk muka dan dua tapak tangannya."
Sedang firman Allah yang mengatakan: "Katakanlah kepada
orang-orang mu'min laki-laki supaya menundukkan pandangan"
itu memberikan suatu isyarat, bahwa muka perempuan itu tidak
tertutup. Seandainya seluruh tubuh perempuan itu tertutup
termasuk mukanya, niscaya tidak ada perintah menundukkan
sebagian pandangan, sebab di situ tidak ada yang perlu
dilihat sehingga memerlukan menundukkan pandangan.
Namun, kiranya sesempurna mungkin seorang muslimah harus
bersungguh-sungguh untuk menyembunyikan perhiasannya,
termasuk wajahnya itu sendiri kalau mungkin, demi menjaga
meluasnya kerusakan dan banyaknya kefasikan di zaman kita
sekarang ini. Lebih-lebih kalau perempuan tersebut mempunyai
paras yang cantik yang sangat dikawatirkan akan menimbulkan
fitnah.
b) Firman Allah:
"Hendaknya mereka itu melabuhkan kudungnya sampai ke dadanya." (an-Nur: 31)
Pengertian khumur (kudung), yaitu semua alat yang dapat
dipakai untuk menutup kepala. Sedang apa yang disebut juyub
kata jama' (bentuk plural) dari kata jaibun, yaitu belahan
dada yang terbuka, tidak tertutup oleh pakaian/baju.
Setiap perempuan muslimah harus menutup kepalanya dengan
kudung dan menutup belahan dadanya itu dengan apapun yang
memungkinkan, termasuk juga lehernya, sehingga sedikitpun
tempat-tempat yang membawa fitnah ini tidak terbuka yang
memungkinkan dilihat oleh orang-orang yang suka beraksi dan
iseng.
c) Firman Allah:
"Dan hendaknya mereka itu tidak menampak-nampakkan perhiasannya terhadap suami atau ayahnya." (an-Nur: 31)
Pengarahan ini tertuju kepada perempuan-perempuan
mu'minah, dimana mereka dilarang keras membuka atau
menampakkan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan,
misalnya: perhiasan telinga (anting-anting), perhiasan
rambut (tusuk); perhiasan leher (kalung), perhiasan dada
(belahan dadanya) dan perhiasan kaki (betis dan gelang
kaki). Semuanya ini tidak boleh dinampakkan kepada laki-laki
lain. Mereka hanya boleh melihat muka dan kedua tapak tangan
yang memang ada rukhsah untuk dinampakkan.
Larangan ini dikecualikan untuk 12 orang:
1. Suami. Yakni si suami boleh melihat isterinya apapun
ia suka. Ini ditegaskan juga oleh hadis Nabi yang
mengatakan:
"Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isterimu."
2. Ayah. Termasuk juga datuk, baik dari pihak ayah
ataupun ibu.
3. Ayah mertua. Karena mereka ini sudah dianggap sebagai
ayah sendiri dalam hubungannya dengan isteri.
4. Anak-anak laki-lakinya. Termasuk juga cucu, baik dari
anak laki-laki ataupun dari anak perempuan.
5. Anak-anaknya suami. Karena ada suatu keharusan untuk
bergaul dengan mereka itu, ditambah lagi, bahwa si isteri
waktu itu sudah menduduki sebagai ibu bagi anak-anak
tersebut.4
6. Saudara laki-laki, baik sekandung, sebapa atau
seibu.
7. Keponakan. Karena mereka ini selamanya tidak boleh
dikawin.
8. Sesama perempuan, baik yang ada kaitannya dengan nasab
ataupun orang lain yang seagama. Sebab perempuan kafir tidak
boleh melihat perhiasan perempuan muslimah, kecuali
perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki. Demikianlah
menurut pendapat yang rajih.
9. Hamba sahaya. Sebab mereka ini oleh Islam dianggap
sebagai anggota keluarga. Tetapi sebagian ulama ada yang
berpendapat: Khusus buat hamba perempuan (amah), bukan hamba
laki-laki.
10. Keponakan dari saudara perempuan. Karena mereka ini
haram dikawin untuk selamanya.
11. Bujang/orang-orang yang ikut serumah yang tidak ada
rasa bersyahwat. Mereka ini ialah buruh atau orang-orang
yang ikut perempuan tersebut yang sudah tidak bersyahwat
lagi karena masalah kondisi badan ataupun rasio. Jadi yang
terpenting di sini ialah: adanya dua sifat, yaitu mengikut
dan tidak bersyahwat.
12. Anak-anak kecil yang tidak mungkin bersyahwat ketika
melihat aurat perempuan. Mereka ini ialah anak-anak yang
masih belum merasa bersyahwat. Kalau kita perhatikan dari
kalimat ini, anak-anak yang sudah bergelora syahwatnya, maka
orang perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada
mereka, sekalipun anak-anak tersebut masih belum baligh.
Dalam ayat ini tidak disebut-sebut masalah paman, baik
dari pihak ayah ('aam) atau dari pihak ibu (khal), karena
mereka ini sekedudukan dengan ayah, seperti yang diterangkan
dalam hadis Nabi:
"Pamannya seseorang adalah seperti ayahnya sendiri." (Riwayat Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar